top of page

insights.

Jika anda (bukan) seorang Aktuaris, apa cara termudah yang dapat anda lakukan untuk melihat indikasi kecukupan Cadangan Teknis suatu perusahaan asuransi? Coba lakukan backtesting! Dengan melakukan backtesting kita dapat mengamati indikasi apakah Cadangan Teknis yang dibukukan perusahaan asuransi itu memang cukup atau sebenarnya cadangannya kurang namun premi yang diterima selama periode berjalan cukup besar sehingga seolah-olah kekurangan Cadangan Teknis tersebut dapat “disubsidi” oleh premi yang baru diterima. Kita ingin sebisa mungkin menghindari “subsidi” ini karena, bagaikan bola salju, jika dibiarkan terus menerus kekurangan Cadangan Teknis mungkin menjadi semakin besar dan dapat mengarah pada insolvency jika pemilik dan manajemen perusahaan terlambat menyadarinya.


Mari kita awali dengan menyegarkan kembali pengertian kita mengenai komponen Cadangan Teknis.


Perusahaan asuransi menyajikan Cadangan Teknis dalam empat komponen berikut :


  1. Cadangan Premi, yang berisi cadangan atas klaim-klaim yang akan terjadi di masa depan yang berasal dari kontrak asuransi dengan jangka waktu pertanggungan lebih dari satu tahun (jangka panjang)


  2. Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan (CAPYBMP), yang berisi cadangan atas klaim-klaim yang akan terjadi di masa depan yang berasa dari kontrak asuransi dengan jangka waktu pertanggungan kurang dari sama dengan satu tahun (jangka pendek)


  3. Cadangan Klaim, yang berisi cadangan atas klaim-klaim yang sudah terjadi namun belum dibayarkan yang berasal dari kontrak asuransi jangka panjang maupun jangka pendek. Cadangan Klaim umumya terdiri dari klaim Outstanding (OS) dan Incurred but Not Reported (IBNR)


  4. Cadangan Katastropik, yang berisi cadangan atas risiko kerugian yang timbul akibat terjadinya fenomena alam atau risiko murni kecelakaan yang menyebabkan kerugian cukup besar bagi perusahaan asuransi.


Empat hal tersebut dapat dilihat di sisi liabilitas pada neraca keuangan perusahaan. Sementara pada sisi aset neraca, perusahaan membukukan Aset Reasuransi sebagai bagian dari Cadangan Teknis yang diharapkan dapat dibayarkan dari kontrak-kontrak reasuransinya. Dari empat komponen tersebut, biasanya Cadangan Katastropik cenderung bernilai relatif kecil sehingga kali ini belum kita bahas. Untuk memudahkan pembahasan kami akan menyebut “Cadangan Premi + CAPYBMP” sebagai Cadangan Premi karena kedua hal tersebut merujuk pada cadangan atas klaim yang akan terjadi di masa depan. Kata kunci yang membedakan antara Cadangan Klaim dan Cadangan Premi adalah apakah klaimnya (tanggal kejadian klaimnya) sudah atau belum terjadi di tanggal valuasi.


Di sisi lain, pada hasil underwriting yang tercakup dalam laba rugi, perusahaan asuransi akan mengakui perubahan Cadangan Teknis (netto dari pemulihan reasuransi) sebagai bagian dari pendapatan dan/atau beban. Pada prinsipnya hasil underwriting menggambarkan apa yang terjadi selama periode pelaporan mempertimbangkan Cadangan Teknis yang dibentuk di awal periode dan akhir periode, bisnis (premi) yang diterima selama periode, serta klaim-klaim yang ada di dalam periode tersebut. Oleh karena itu, kita dapat lebih mudah melihat indikasi kecukupan Cadangan Teknis dengan mengamati hasil underwriting namun dari “sudut pandang” yang sedikit berbeda. Di bawah ini adalah ilustrasi hasil underwriting pada perusahaan asuransi.

Dari seluruh klaim yang dibukukan perusahan di periode berjalan, kita perlu memahami tiga kategori “sumber dana” untuk setiap klaim tersebut. Mana saja klaim yang seharusnya dibayarkan dari masing-masing Cadangan Klaim, Cadangan Premi, dan premi yang baru diterima di periode berjalan. Jika kita dapat memisahkan klaim sesuai ketiga sumber dana tersebut, kita dapat mengetahui apakah Cadangan Teknis (Cadangan Premi dan Cadangan Klaim) yang dibentuk perusahaan asuransi di awal periode itu cukup atau tidak.

Mari kita bahas lebih lanjut mengenai ketiga kategori tersebut.


Kategori pertama adalah Cadangan Klaim. Jika kita lihat selisih Cadangan Klaim di awal periode, dibandingkan dengan Cadangan Klaim di akhir periode khusus untuk klaim yang terjadi sebelum periode berjalan maka kita akan dapatkan release Cadangan Klaim untuk klaim dengan tanggal kejadian sebelum periode berjalan.


Release Cadangan Klaim ini seharusnya mampu menutupi klaim yang dibayarkan selama periode tersebut, namun khusus untuk yang memiliki tanggal kejadian sebelum periode berjalan.


Klaim-klaim yang terjadi sebelum periode berjalan seharusnya sudah dicadangkan di awal periode, baik sebagai Klaim OS maupun IBNR. Sehingga apapun yang dibukukan ditahun berjalan, idealnya diimbangi dengan release dari Cadangan Klaim tersebut. Kami menyebut ini sebagai kategori Past Business – Past Service” (“PBPS”) karena klaim ini berasal dari bisnis yang didapat sebelum periode berjalan (Past Business) dan terjadinya juga sebelum periode berjalan (Past Service).

 

Kategori kedua adalah Cadangan Premi. Jika kita lihat selisih Cadangan Premi di awal periode, dibandingkan dengan Cadangan Premi di akhir periode khusus untuk bisnis yang sudah inforce di awal periode maka kita akan dapatkan release Cadangan Premi untuk bisnis yang inforce di awal periode.


Release Cadangan Premi ini seharusnya mampu menutupi klaim yang dibayarkan selama periode tersebut ditambahkan dengan kenaikan Cadangan Klaimnya. Klaim yang masuk dalam kategori ini hanya klaim yang terjadi selama periode berjalan dan berasal dari bisnis yang sudah inforce di awal periode.


Untuk bisnis yang inforce di awal periode, Cadangan Preminya harus cukup untuk membayar klaim yang terjadi selama periode berjalan ditambah klaim yang akan terjadi setelah periode berjalan. Ini sesuai dengan pengertian Cadangan Premi di atas. Kami menyebut kategori ini sebagai Past Business – Current Service” (“PBCS”) karena klaim ini berasal dari bisnis yang didapat sebelum periode berjalan (Past Business) dan terjadi di periode berjalan (Current Service).


Kategori terakhir adalah premi yang diterima di periode berjalan. Untuk kategori terakhir, klaim yang terjadi di periode berjalan atas bisnis baru (New Business), sumber dananya adalah dari Premi yang baru diterima di periode berjalan, namun dikurangi dengan Cadangan Preminya pada akhir periode.


Pada kategori ini premi yang baru diterima di periode berjalan seharusnya mencukupi klaim yang terjadi di periode tersebut ditambah dengan klaim yang akan terjadi di masa depan, khusus untuk yang berasal dari bisnis yang baru terbit di periode berjalan. Kami menyebut ini sebagai New Business – Current Service” (“NBCS”) karena klaim ini berasal dari bisnis yang baru didapat diperiode berjalan (New Business) dan klaimnya terjadi di periode berjalan (Current Service).

 

Pada ilustrasi berikut memperlihatkan backtesting dilakukan untuk melihat kecukupan Cadangan Teknis (netto dari reasuransi) dengan pengamatan selama satu tahun untuk perusahaan asuransi umum.


Mengacu pada ilustrasi hasil underwriting di atas, Pendapatan dan Beban Underwriting Lain dianggap bernilai 0. Kita juga akan mengeluarkan komponen bruto dan reasuransi untuk lebih berfokus pada netto sehingga hasil underwriting dapat disederhanakan menjadi berikut :

Pada tahap ini, indikasi kecukupan Cadangan Teknis belum dapat dilihat dengan mudah. Kita baru dapat melihat bahwa di tahun berjalan terdapat profit underwriting sebesar 51.3M namun kita tidak tahu apakah ini memang karena masing-masing Cadangan Premi dan Cadangan Klaimnya cukup atau sebenarnya karena terdapat subsidi antara 3 kategori yang telah dijelaskan di atas.


Dengan menyajikan hasil underwriting dengan komponen seperti di bawah ini akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas.

Pada komponen pertama, yaitu PBPS, klaim yang dibayarkan selama periode berjalan adalah sebesar 63M. Namun release dari Cadangan Klaimnya hanya sebesar 40M. Ini menunjukan terdapat kekurangan sebesar 22M. Kekurangan ini seluruhnya diakui sebagai kerugian di periode berjalan.


Pada komponen kedua, yaitu PBCS, terdapat release Cadangan Premi sebesar 28M. Di sisi lain, klaim yang terjadi di periode berjalan adalah sebesar 53M dengan 31M nya sudah dibayarkan dan 21M nya masih dicadangkan. Dari sini ternyata perusahaan juga mengalami ketidakcukupan Cadangan Premi sebesar 24M. kekurangan ini juga seluruhnya diakui sebagai kerugian di periode berjalan.


Pada komponen terakhir, yaitu NBCS, perusahaan menerima premi sebesar 154M kemudian mencadangkan Cadangan Premi sebesar 30M sehingga terdapat pendapatan sebesar 123M. Di sisi lain, di periode berjalan terjadi klaim sebesar 24M dengan 14M nya sudah dibayarkan dan 9M nya masih dicadangkan. Dengan demikian komponen ini menghasilkan profit underwriting sebesar 98M.


Dengan menjumlahkan 3 komponen tersebut, maka kita dapatkan profit underwriting sebesar 51M. Namun kita dapat melihat bahwa sebenarnya Cadangan Klaim dan Cadangan Premi yang dibentuk perusahaan tidak cukup. Profit underwriting utamanya didapat dari kategori NBCS. Jika tidak ada perubahan yang signifikan pada proses bisnisnya, kita dapat mencurigai apakah Cadangan Premi (30M) dan Cadangan Klaim (9M) dalam kategori NBCS ini benar-benar cukup? Aktuaris lah yang lebih bisa menjawabnya.

 

Jika Anda bukan seorang Aktuaris, Anda dapat melakukan backtesting seperti ilustrasi di atas namun dengan rentang pengamatan yang lebih panjang. Misalkan dengan mengamati Cadangan Teknis di awal tahun 20X5 dibandingkan dengan hasil underwriting 20X5, juga mengamati Cadangan Teknis di awal tahun 20X4 dibandingkan dengan hasil underwriting 20X4 + 20X5, juga mengamati Cadangan Teknis di awal tahun 20X3 dibandingkan dengan hasil underwriting 20X3 + 20X4 + 20X5, dst. Jika hasil dari pengamatan tersebut menunjukan hasil yang konsisten tidak cukup dan Anda menyadari bahwa tidak terdapat perubahan-perubahan proses bisnis yang signifikan maka mungkin Anda dapat melihat indikasi apakah Cadangan Teknis yang dibentuk di akhir periode 20X5 cukup atau tidak.

 

Kita perlu menyadari hal-hal lain yang berpengaruh pada penilaian kita terhadap kecukupan Cadangan Teknis. Pada dasarnya, cara ini tidak menjamin 100% bahwa cukup/tidaknya Cadangan Teknis yang dibentuk di awal periode akan menggambarkan cukup/tidaknya Cadangan Teknis yang dibentuk di akhir periode. Beberapa hal yang dapat diperhatikan lebih lanjut adalah (namun tidak terbatas pada) :

  1. Apakah ada extreme event yang mendistorsi pengalaman perusahaan secara signifikan?

  2. Apakah terdapat perubahan komposisi bisnis yang signifikan?

  3. Apakah terdapat perubahan RTC (Rate, Terms & Condition) yang signifikan?

  4. Seberapa signifikan, baik dari sisi nominal dan waktu, praktik early booking dan late booking dalam perusahaan?

  5. Seberapa besar komponen lain dalam Cadangan Teknis yang dipengaruhi oleh basis perhitungannya seperti Provision for Adverse Deviation (PAD), Indirect Claims Handling Expenses (ICHE), Policy Maintenance Expenses (PME), dan discounting effect?

  6. Seberapa besar margin implisit yang tercakup dalam metode dan asumsi yang digunakan, seperti pemlihan LDF, pemilihan Loss Ratio, dll.


Oleh karena itu, Aktuaris tetap diperlukan untuk dapat secara lebih akurat mengkuantifikasi dampak hal-hal tersebut (dan hal lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu) sehingga Cadangan Teknis yang dibentuk di akhir periode dapat dinilai kecukupannya. Aktuaris juga dapat menilai apakah cukup/tidaknya Cadangan Teknis ini akibat volatilitas yang wajar dialami oleh perusahaan asuransi, atau memang ada faktor tertentu.

 

Melakukan backtesting untuk melihat indikasi kecukupan Cadangan Teknis seperti ilustrasi di atas akan sangat bermanfaat bagi perusahaan asuransi sebagai early warning untuk mencegah terjadinya insolvency. Ini juga sejalan dengan penerapan PSAK 117 yang menuntut tingkat transparansi yang lebih tinggi dimana perusahaan asuransi diharuskan untuk memisahkan perubahan yang terkait dengan jasa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, yang langsung berkaitan dengan ketiga kategori sumber dana untuk klaim yang disebutkan.


 

Glosarium

  1. Klaim Outstanding (OS) : klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan ke perusahaan asuransi

  2. Klaim Incurred But Not Reported (IBNR) : klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan ke perusahaan

  3. Extreme Event : kejadian luar biasa yang tidak pernah atau sangat jarang terjadi sebelumnya serta tidak diharapkan untuk terjadi lagi di masa depan dalam waktu dekat

  4. Early booking : pembukuan polis sebelum masa pertanggungan asuransinya mulai

  5. Late booking : pembukuan polis setelah masa pertanggungan asuransinya mulai (atau bahkan setelah masa pertanggungan asuransinya selesai)

  6. Provision for Adverse Deviation (PAD) : Provisi yang menjadi bantalan ketika klaim sebenarnya lebih tinggi daripada nilai estimasi terbaiknya

  7. Indirect Claims Handling Expenses (ICHE) : Biaya tidak langsung yang diperlukan untuk menyelesaikan klaim, seperti gaji karyawan departemen klaim.

  8. Policy Maintenance Expenses (PME) : Biaya tidak langsung yang diperlukan untuk  memelihara polis, seperti biaya administrasi


Artikel ditulis oleh:

Muhammad Hanif Saiful, ASAI, Senior Konsultan KKA I Gde Eka Sarmaja, FSAI dan Rekan

 
 
 



Ketika perusahaan asuransi menyiapkan perhitungan transisi untuk PSAK 117, Perusahaan mungkin tidak dapat menggunakan pendekatan fully retrospective atau modified retrospective karena ketidakcukupan data untuk mendukung perhitungan tersebut. Dalam skenario ini, Perusahaan dapat menggunakan Fair Value Approach. KKA GD akan memperkenalkan pendekatan ini secara singkat, mengidentifikasi metode praktis yang kami rekomendasikan sambil menjabarkan beberapa kendala yang ditemukan dalam beberapa klien yang kami bantu dalam perjalanan mereka menggunakan Fair Value Approach.


Fair Value adalah harga yang  akan diterima untuk menjual aset (atau dibayarkan untuk transfer kewajiban) dalam transaksi antara para pelaku pasar pada tanggal pengukuran. Kami menentukan Fair Value untuk suatu portfolio sehingga kami dapat mengukur contractual service margin (atau loss component) berdasarkan PSAK117 pada tanggal transisi. 


Terdapat tiga kemungkinan pendekatan: market, cost dan income.


Pendekatan income, khususnya pendekatan nilai sekarang dari distributable earnings, adalah metode pilihan kami untuk digunakan dalam menentukan Fair Value.


Namun, kami telah mengidentifikasikan bahwa beberapa Perusahaan di industri mencoba menggunakan pendekatan yang disederhanakan, untuk menentukan Fair Value. Pendekatan tersebut adalah:

  • Value of in-force business (VIF), di mana VIF didefinisikan sebagai ekspektasi profit di masa yang akan datang dari bisnis in-force.

  • Economic Capital Technical Provisions, yang terdiri dari penjumlahan BEL dan Margin Risiko.


Kami memahami daya tarik pendekatan yang disederhanakan tersebut, tetapi pendekatan tersebut mengandung beberapa kekurangan yang sulitdipertahankan saat proses audit. Misalnya:

  • VIF menyatakan laba selama jangka waktu produk tersedia untuk didistribusikan segera. Kita tahu ini tidak benar. Memang, PSAK 117 telah memperkenalkan CSM dan RA yang akan merilis laba saat keduanya habis. VIF mengabaikan metrik PSAK 117 yang baru ini. VIF juga mengabaikan untuk mempertimbangkan persyaratan modal regulasi yang harus dipenuhi.

  • Dengan menggunakan Technical Provisions  (TP), kita mencampur aturan kebutuhan modal dalam laporan keuangan. Jika TP digunakan sebagai nilai FV, ada kecenderungan akan lebih rendah dari FV yang sebenarnya. Misalnya, tidak ada asumsi yang eksplisit untuk profit margin.


Sebaliknya, seperti yang disebutkan, kami merekomendasikan distributable earnings approach. Pendekatan ini mengkonversi arus kas yang dapat didistribusikan di masa yang akan datang menjadi single discounted amount. Pendekatan ini menghasilkan nilai inheren bisnis bagi pemiliknya. Pengukuran FV mencerminkan ekspektasi pasar saat ini tentang profil distributed earnings di masa mendatang yang akan diambil tersebut – baik dalam jumlah maupun waktu.


Kami telah berhasil melakukan perhitungan Fair Value untuk sejumlah klien di berbagai pasar di seluruh dunia dan siap mendukung perusahaan lain di setiap tahapan proses ini.

 
 
 


Modernisasi kinerja aktuaria merupakan tantangan yang nyata bagi para pemimpin. Sejumlah besar proyek perubahan yang ambisius tidak mencapai tujuannya, terutama karena adanya kompleksitas yang diketahui dan tidak terduga.


Sebagaimana ditunjukkan dalam laporan McKinsey, sebanyak 70% program perubahan berskala besar gagal mencapai hasil yang diinginkan. Meskipun telah mendedikasikan waktu bertahun-tahun untuk upaya modernisasi, tingkat pengolahan manual masih banyak ditemukan dalam fungsi aktuaria.


Faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kegagalan ini adalah kecenderungan mereka yang memimpin proyek-proyek tersebut melakukan pendekatan modernisasi secara linear. Aktuaris, berdasarkan profesinya, sering kali menunjukkan sifat analitis, logis, dan berorientasi pada detail yang biasanya dikaitkan dengan individu yang memiliki otak kiri yang lebih dominan. Kecenderungan ini terkadang dapat mengarah pada pendekatan yang sangat linear dan seringkali menggunakan pendekatan yang mekanis dalam pemecahan masalah. Hal ini mengakibatkan saling ketergantungan dan kompleksitas yang melekat dalam proyek transformasi tidak sepenuhnya disadari atau dikelola secara efektif.


Artikel ini membahas nuansa masalah yang kompleks versus rumit. Hal ini menyoroti mengapa modernisasi fungsi aktuaria cenderung menjadi tugas yang kompleks dan mengkaji strategi utama dalam tiga bidang utama untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berhasil.


Masalah Kompleks vs Rumit: Mengenali Perbedaannya

Memahami perbedaan antara permasalahan yang rumit dan kompleks adalah kunci untuk membentuk transformasi berkelanjutan dalam fungsi aktuaria. Kedua konsep tersebut memiliki kerumitan namun pada dasarnya berbeda dalam sifat dan prediktabilitasnya.


Masalah yang rumit, meskipun rumit, mempunyai akibat yang dapat diperkirakan. Mereka mengikuti hubungan sebab-akibat yang konsisten, menbuatnya dapat diprediksi dan, oleh karena itu, dapat dipecahkan melalui teknik, prosedur, dan algoritma yang sudah ada. Merancang pesawat terbang atau melaksanakan misi pendaratan di bulan adalah contoh sempurna dari masalah rumit. Tugas-tugas ini melibatkan banyak sekali komponen dan memerlukan keahlian yang sangat terspesialisasi, namun peraturan dan langkah-langkahnya tetap sama, sehingga memungkinkan prediksi dan pengendalian hasil yang tepat.


Di sisi lain, permasalahan yang kompleks menunjukkan hubungan yang non-linier dan seringkali tidak dapat diprediksi antar komponennya. Karena interaksi variabel yang konstan, hasilnya tidak selalu terlihat jelas. Misalnya, mengelola ekosistem digital atau mengarahkan perubahan organisasi merupakan permasalahan yang kompleks. Meskipun kita telah memahami masing-masing komponen dan hubungannya, hasil yang diperoleh seringkali masih belum pasti karena dinamisme dan kemampuan beradaptasi yang melekat pada sistem.


Mengungkap Kompleksitas Transformasi Aktuaria

Ada beberapa alasan mengapa modernisasi fungsi aktuaria memang menjadi permasalahan yang kompleks. Hal ini melibatkan banyak komponen yang saling berinteraksi termasuk data, teknologi, manusia, proses, dan atribut spesifik dalam organisasi. Masing-masing komponen dapat berperilaku dan berkembang secara mandiri serta dipengaruhi oleh rangsangan internal dan eksternal. Misalnya, penerapan sistem aktuaria baru berdampak pada proses aktuaria, peran dan tugas karyawan, serta model operasi organisasi.


Meskipun interaksi di antara faktor-faktor ini memungkinkan kinerja fungsi aktuaria, hal ini juga menciptakan lingkungan yang dinamis di mana suatu masalah tidak memiliki seorang pemilik – tidak ada satu orang dalam tim aktuaria yang dapat mendorong perubahan secara terpisah. Transformasi berdampak pada setiap tingkatan organisasi, mulai dari mahasiswa aktuaria hingga eksekutif senior. Luas dan dalamnya perubahan ini memerlukan kepemilikan dan kerja sama kolektif.


Penting juga untuk menyadari bahwa modernisasi aktuaria bergantung pada jalurnya. Operasional saat ini sangat dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan historis. Untuk fungsi aktuaria, hal ini dapat berupa pilihan perangkat lunak dan metodologi sebelumnya, strategi data, atau inisiatif pelatihan. Faktor-faktor yang bergantung pada jalur ini sering kali menimbulkan kendala dan menambah lapisan kompleksitas dan ketidakpastian pada proses transformasi.


Terlebih lagi, para pemimpin aktuaria terus-menerus dihadapkan pada kemampuan-kemampuan yang muncul. Ketika teknologi baru seperti cloud computing dan machine learning terintegrasi, kemampuan atau tantangan tak terduga mungkin muncul yang awalnya tidak terlihat.


Meskipun ada keinginan untuk melakukan modernisasi, penting untuk mengakui bahwa sistem yang ada masih berfungsi. Meskipun tidak efisien, namun memberikan hasil yang bermanfaat bagi individu atau kelompok tertentu dalam organisasi. Hal ini sering kali menimbulkan resistensi terhadap perubahan. Masyarakat pada dasarnya cenderung mempertahankan status quo, terutama jika hal tersebut bermanfaat bagi kepentingan mereka. Oleh karena itu, transformasi bukan hanya mengenai penerapan sistem dan proses baru, namun juga mengatasi hambatan yang melekat pada sistem dan proses lama.


Agar modernisasi berhasil, jelas bahwa tidak ada silver bullet. Sebaliknya, hal ini merupakan gabungan dari beberapa faktor – pilihan masa lalu, praktik saat ini, dan tren masa depan – yang semuanya terjalin dalam ekosistem yang kompleks. Mengatasi satu faktor saja tidak akan memberikan hasil yang diinginkan. Perombakan menyeluruh atas aspek-aspek yang saling berhubungan inilah yang mendorong transformasi dan modernisasi yang berarti.


Actuarial transformation isn’t a puzzle to be solved; it’s a landscape to be navigated. - Andries Beukes, Partner

Mengingat kompleksitas transformasi, mencapai pendekatan yang berkelanjutan harus memanfaatkan systems thinking, kemampuan beradaptasi, dan pembelajaran berkelanjutan.


Systems thinking mendorong pemahaman sistem secara keseluruhan daripada berfokus pada komponen individual. Hal ini membantu dalam mengidentifikasi pola dan hubungan mendasar di antara berbagai faktor pendukung proyek transformasi dan mendorong pengambilan keputusan yang lebih terinformasi dan holistik.


Membina lingkungan yang adaptif dan fleksibel sangatlah penting. Mengingat sifat permasalahan kompleks yang tidak dapat diprediksi, penting untuk menciptakan budaya di mana tim dapat dengan cepat merespons perubahan atau tantangan yang tidak terduga. Hal ini dapat mencakup mendorong eksperimen, belajar dari kegagalan, atau sering memperbarui strategi berdasarkan wawasan baru.


Transformasi adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan, dan oleh karena itu memerlukan pembelajaran yang berkelanjutan dan perbaikan untuk memastikan keberlanjutan. Penting untuk membangun mekanisme umpan balik, pembelajaran dan perbaikan yang berkelanjutan. Hal ini dapat melibatkan retrospective meeting yang rutin dan feedback yang akan menjadi input untuk perbaikan ke depannya.


Selain itu, untuk mencapai transformasi berkelanjutan memerlukan perubahan pola pikir pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan perubahan. Untuk merintis gerakan modernisasi yang inklusif, para pemimpin aktuaria harus menentukan arah yang jelas, menjadikannya berdampak, dan memanfaatkan kecerdasan kolektif.


Menetapkan arah yang jelas sangat penting untuk menentukan jalur perjalanan transformasi. Hal ini melibatkan penetapan tujuan yang ambisius, penyelarasan tujuan, menetapkan milestones yang bermakna, dan mobilisasi sumber daya yang diperlukan. Dengan menetapkan arah yang terartikulasi dengan baik, tim aktuaria memperoleh kejelasan dan alasan yang dibutuhkan untuk maju dengan percaya diri dalam upaya transformasi mereka.


Aspek untuk menjadikannya berdampak sangat penting untuk merangsang dan melibatkan mereka yang terlibat dalam proses transformasi. Dengan memvisualisasikan skenario masa depan yang positif dan menghubungkannya dengan nilai-nilai penting bagi individu, tim aktuaria dapat menumbuhkan tujuan dan motivasi. Ikatan emosional dengan tujuan transformasi ini membantu menumbuhkan komitmen dan ketahanan sepanjang perjalanan.


Terakhir, pemanfaatan kecerdasan kolektif sangat penting dalam memahami kondisi sistem saat ini dan memfasilitasi pembelajaran berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan beragam sudut pandang dan pengalaman, tim aktuaria dapat mengembangkan pemahaman bersama mengenai kompleksitas dan tantangan yang mereka hadapi. Pendekatan kooperatif ini membantu mengatasi ketidakseimbangan informasi, pengetahuan dan partisipasi, memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan terlibat secara aktif dan berkontribusi terhadap inisiatif transformasi.


Kesimpulannya, memahami perbedaan antara permasalahan yang kompleks dan rumit memungkinkan dilakukannya klasifikasi dan pendekatan modernisasi aktuaria yang lebih akurat. Proyek transformasi bersifat kompleks dan memerlukan pendekatan tingkat sistem, kemampuan beradaptasi, dan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan untuk mendorong transformasi berkelanjutan.

 

Actuarial Performance Managemet (APM™) Framework yang dimiliki oleh MBE Consulting merupakan pendekatan dinamis yang kami terapkan untuk membantu para pemimpin aktuaria dan perusahaan asuransi dalam memodernisasi fungsi aktuaria mereka dan meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Kerangka kerja ini telah dirancang dengan cermat, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun dan beragam penelitian dan teori yang mencakup bidang-bidang seperti systems thinking, Lean principles, change management , dan pengembangan kepemimpinan.


Dalam cakupan komprehensif APM Framework terdapat APM Maturity Assessment, sebuah tool yang dirancang untuk menawarkan evaluasi komprehensif terhadap operasi aktuaria Anda di enam bidang strategis utama. Setelah menyelesaikan penilaian, Anda akan mendapatkan akses terhadap berbagai wawasan dan rekom

endasi yang dapat ditindaklanjuti yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mencapai standar keunggulan aktuaria yang tak tertandingi.


 
 
 

© 2024 by Kantor Konsultan Aktuaria I Gde Eka Sarmaja, FSAI dan Rekan

bottom of page