top of page

insights.

  • kkagd

Mengapa program pensiun harus dirancang ? Pertanyaan ini seringkali muncul dari beberapa rekan HRD perusahaan. Kebanyakan rancangan program pensiun mengandalkan hasil survei gaji dan program manfaat karyawan dan langsung meniru program pensiun yang dimiliki oleh perusahaan pesaingnya. Pendekatan ini belum tentu memberikan dampak yang sama dengan perusahaan yang ditiru karena setiap perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga perlu program dan pendekatan yang berbeda guna menghasilkan “value proposition” yang unik.


Dalam merancang program pensiun, perusahaan perlu menetapkan tujuan yang jelas akan tingkat manfaat yang diharapkan sesuai dengan proyeksi profil karyawan selama 30 tahun mendatang. Selain itu juga perlu memahami rencana bisnis dan bagaimana biaya pensiun yang disisihkan ini memberikan dampak bisnis perusahaan secara komersial.


Jumlah Dana Pensiun (Dapen) sudah jauh berkurang akibat pembubaran atau konversi dari bentuk manfaat pasti menjadi iuran pasti ke DPLK (Dana Pensiun yang didirikan Bank atau Asuransi). Pada puncaknya jumlah dana pensiun sempat menyentuh 300 dana pensiun, namun pada posisi Juni 2019 jumlahnya nyaris tinggal separuhnya (lihat tabel). Selain itu, rata-rata dana per orang yang dikelola jumlahnya mayoritas tidak mencukupi untuk mencapai tingkat pensiun yang ideal.


Statistik Dana Pensiun per 30 Juni 2019

Sumber: OJK

Krisis moneter 1997 menjadi titik balik perkembangan Dana Pensiun di Indonesia, yang memaksa perusahaan melakukan modifikasi dan kompromi atas rancangan program program, diantaranya konversi program manfaat pasti menjadi iuran pasti (misal : dialihkan ke DPLK), modifikasi atas definisi gaji dasar pensiun (misal : hanya gaji pokok) atau manfaat pensiun tanpa penyesuaian inflasi (misal : dibelikan anuitas seumur hidup).

Hasilnya tentu saja dari segi biaya menjadi ringan bagi perusahaan dan program masih tetap ada, tapi manfaat yang diberikan melalui program tersebut menjadi jauh berkurang. Program DPLK yang diharapkan menjadi solusi pengelolaan dana, ternyata tidak berkembang secara optimal. Meskipun terlihat pertumbuhan peserta cukup pesat di DPLK, namun di sisi lain, total dana yang dikelola dan saldo rata-rata per peserta masih jauh di bawah dari DPPK (Program Pensiun yang didirikan oleh Perusahaan).


Kondisi ini sedikit terobati dengan disahkannya Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 yang mewajibkan besaran manfaat minimal jika seorang karyawan di PHK karena mencapai usia pensiun.


Apakah masalah pensiun sudah selesai ? Ternyata masalahnya lebih kompleks dari yang diperkirakan banyak orang karena gagal paham jika manfaat minimal yang diatur tersebut sejatinya hanya berfungsi sebagai safety-net. Seolah-olah orang yang memasuki pensiun tersebut diberikan “obat penenang” pesangon dan kalau kurang, ujung-ujungnya mesti usaha lagi untuk mencukupi hari tua.

Pesangon merupakan kewajiban perusahaan atas pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga perlu ada dana darurat yang mencukupi sampai korban PHK ini mendapat pekerjaan baru. Manfaat pesangon cukup untuk bertahan selama 3 bulan hingga 3 tahun, bergantung pada lama bekerja.

Manfaat pensiun merupakan hasil dari program pensiun yang dirancang agar memberikan kesinambungan penghasilan setelah pensiun bekerja. Manfaat pensiun dari suatu program pensiun yang dirancang dengan baik akan memberikan penghasilan yang layak bagi pensiunan dalam menjalani sisa hidupnya (berkisar antara 20 tahun hingga 30 tahun).

Karyawan dalam risiko yang besar jika perusahaan belum melakukan strategi pendanaan untuk kompensasi pesangon PHK ataupun Dana Pensiun, biasanya PHK terjadi pada saat perusahaan mengalami krisis keuangan. Jangankan untuk program pensiun, dana untuk membayar pesangon PHK pun belum tentu mampu.


Dalam merancang program pensiun, ada 3 aspek yang menjadi kunci keberhasilan program.

Target manfaat pensiun ideal yang diukur dengan Replacement Ratio (RR) berkisar antara 70%-80%. RR merupakan rasio manfaat pensiun bulanan dibandingkan dengan gaji bulanan terakhir sebelum pensiun (misal usia 55 tahun). Sebagai catatan, program BPJS Ketenagakerjaan dan faktor Pesangon rata-rata hanya mencukupi sebagian dari target RR, jadi diperlukan program ekstra yang besarnya hampir sama dengan program BPJS Ketenagakerjaan dan Pesangon yang saat ini diberikan.


Penetapan iuran biasanya melihat pada rata-rata iuran yang dibayarkan oleh perusahaan sejenis yang dijadikan tolok ukur. Berdasarkan data survei, rata-rata iuran yang dibayar perusahaan 6% dari gaji, beberapa perusahan mewajibkan karyawan untuk membayar iuran 3% (dipotong dari gaji) sehingga totalnya menjadi 9%.


Pengembangan hasil investasi perlu melihat profil risiko dan usia dari karyawan, semakin muda artinya pensiunnya masih lama, sebaiknya ditempatkan pada portofolio investasi yang lebih agresif (misalnya saham, atau reksadana saham) agar akumulasi dana pensiun menjadi maksimal. Tentunya pengelola program yang dipilih wajib memiliki track-record investasi yang baik. Transparan, dan tepat waktu dalam menyampaikan kinerja investasi bahkan dalam situasi pasar yang sulit.

Perlu tidaknya program pensiun sedikit banyak dibangun dari kesadaran peserta program itu sendiri, jika sebagian karyawan tidak berpikir atau tidak berencana akan pensiun dari perusahaan anda, jangan report-repot untuk merancang program pensiun. Tapi jika karyawan anda mulai menanyakan manfaat pensiun yang diberikan perusahaan, dan perusahaan belum siap untuk itu, jangan heran jika mereka akan mencari perusahaan yang memberikan dan memikirkan pensiun bagi mereka.


Jika perusahaan anda belum memiliki program pensiun, nantikan tips merancang program pensiun pribadi dalam tulisan berikutnya.

GDe 12.08.19

53 views0 comments

Berikut adalah ringkasan dari hasil survey yang dilakukan pada pertengahan Desember 2018 yang lalu mengenai usia pensiun ideal.


Survey diikuti oleh 46 responden dengan kelompok usia dan jabatan yang berbeda-beda. Responden berasal dari setidaknya 32 perusahaan yang berbeda - beberapa responden tidak memberikan informasi perusahaan tempatnya bekerja. Separuh dari responden berasal dari industry keuangan (bank dan asuransi), sedangkan sisanya berasal dari industry manufacturing, hi-tech, migas,pertambangan, kesehatan, pendidikan, FMCG dan juga konsultan. Jika dilihat dari skala perusahaan, 46% responden bekerja pada perusahaan dengan skala 500 - 5000 orang dan 33% responden bekerja pada perusahaan dengan skala 50 - 500 orang. 64% responden berusia 35 - 50 tahun.


Fakta 1 : Usia pensiun perlu dinaikkan setidaknya menjadi 60 tahun

Saat ini 70% perusahaan masih menetapkan usia pensiun 55 tahun, sementara 60% responden berharap pensiun pada usia 60.


Fakta 2 :“Expectation bias”, kegagalan dalam mengidentifikasi retirement gap pada usia yang lebih muda

9% berharap pensiun sebelum usia 50 tahun, 56% berharap pensiun 60 tahun, sisanya 30% tetap di 55 atau 56 tahun


Fakta 3 : Kurang dari 30% responden yakin tabungan mereka cukup untuk pensiun


Walaupun lebih dari 70% responden sudah memiliki program pensiun pilar kedua dan didanai melalui program pensiun perusahaan/”employer”, namun kurang dari 30% responden yakin tabungan mereka akan cukup untuk pension. Hanya separuh dari responden memiliki program investasi fisik atau investasi finansial untuk pilar ketiga


Untuk informasi lebih lanjut mengenai temuan di atas, silahkan email ke : i.gde.eka.sarmaja@kkagd.com

44 views0 comments
  • kkagd

Baru-baru ini ramai di medsos mengenai penolakan besaran gaji Rp. 8 juta bruto per bulan dari seorang fresh graduate dari salah satu Universitas ternama.


Yang mengejutkan adalah keluhan itu muncul di saat buruh memperjuangkan UMR (Upah Minimum Regional) yang saat ini berada dalam kisaran 3,9 juta per bulan di DKI Jakarta, sedangkan banyak dari mereka statusnya bukan fresh graduate dan bukan jomblo bahkan punya tanggungan anak lebih dari dua.


Respons yang muncul beragam dari yang setuju hingga yang menyayangkan sikap dari fresh graduate tersebut.

Direktorat Pajak (DJP) pun juga turut memberikan reaksi melalui instagram berbunyi:


“GAJI 8 JUTA, STATUS JOMBLO, SABTU MINGGU LEMBUR TAPI GAK DIBAYAR, GAK PUNYA PROGRAM PENSIUN, BEGINI HITUNG PAJAK PENGHASILANNYA”


Intinya, pajak bulanan yang ditanggung ‘hanya’ 155ribu perbulan atau setara dengan 1,9% dari gaji.


Menyambung pesan DJP di atas, yang menjadi pertanyaan adalah benarkah KARYAWAN GAK PUNYA PROGRAM PENSIUN ?


Fakta ini tidak benar, karena seluruh pekerja WAJIB didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan melalui program JHT (Jaminan Hari Tua) dan program Jaminan Pensiun. (lihat ilustrasi di bawah)


Fakta berikutnya adalah selama UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan masih mengatur manfaat pesangon minimal yang WAJIB dibayarkan saat mencapai usia pensiun. Potensi manfaat maksimal yang bisa diperoleh mencapai 32,2 x gaji terakhir. Jadi si fresh graduate ini akan memperoleh tambahan sebesar Rp. 3,26 milyar sehingga jika dijumlahkan dengan akumulasi dana BPJS Ketenagakerjaan menjadi Rp. 7,66 milyar pada usia 55 tahun.


Masalahnya untuk UU No. 13/2003 maksimal pesangon 32,2 kali gaji terakhir itu hanya berlaku jika karyawan bekerja di perusahaan yang sama minimal 24 tahun berturut-turut. Berapa banyak sih generasi pekerja sekarang yang akan bekerja di satu perusahaan selama setidaknya 24 tahun ? Banyak eksekutif perusahaan besar yang saya temui masih suka gonta ganti perusahaan bahkan saat usianya di atas 45 tahun dengan tujuan mendapatkan gaji yang lebih besar tetapi lupa berhitung jika hak pesangon usia pensiunnya jadi turun banyak.


Generasi milenial dan generasi alpha yang masuk dalam kelompok fresh graduate ini sekarang cenderung lebih sering ganti job dan dengan era disrupsi sekarang banyak juga perusahan yang menerapkan model kontrak / freelance dan bukan pegawai tetap / permanen. Hal ini menjadi RISIKO bagi generasi milenial dan generasi alpha disaat UU Ketenagakerjaan tidak mewajibkan perusahaan untuk memberikan kompensasi pesangon pensiun bagi karyawan kontrak.


Seorang fresh graduate yang masuk ke dunia kerja perlu sedini mungkin melakukan perencanaan pensiun untuk mengkompensasi target Rp. 3,26 milyar tersebut yang saat ini diatur melalui UU No. 13/2003. DPLK dapat menjadi sarana yang paling ideal untuk mengelola program pensiun.


Karena program ini untuk masa depan yang masih Panjang, DPLK yang dipilih WAJIB memiliki tata kelola investasi yang baik dan berpengalaman.


Setidaknya diperlukan iuran tambahan 6,5% dari gaji untuk mencapai target Rp. 3,26 milyar saat usia 55 tahun dengan asumsi hasil investasi rata-rata 9% per tahun.


RISIKO ini akan semakin meningkat jika fresh graduate menunda menyisihkan iuran tambahan tersebut namun dia akan sangat beruntung jika bisa diterima dalam suatu perusahaan yang memiliki program pensiun dengan iuran setidaknya mendekati 6,5% dari gaji.

106 views0 comments
bottom of page